MEA dan (Upaya) Menangkal Transfer Pricing

Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global.

Pertama, untuk mengurangi jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles laporan keuangan. Saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan bergulir Desember 2015, kemungkinan praktek transfer pricing perusahaan dari kawasan Asean bisa terjadi.

Modus transfer pricing dapat terjadi atas harga penjualan, harga pembelian, overhead cost, bunga shareholder-loan, pembayaran royalti, imbalan jasa, penjualan melalui pihak ketiga yang tidak ada usaha (special purpose company).

Pengusaha melakukan transfer pricing (TP) dengan mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Singapura, sebelum menjual ke enduser. Contohnya PT.X memproduksi mobil dengan biaya Rp.700 dan menjualnya ke PT.Y (perusahaan afiliasi) ke Singapura seharga Rp.725. PT.Y ini hanya dummy yang berada di negara berpajak rendah (tax haven country). Dari PT.Y, mobil dijual ke PT.Z (non-afiliasi) dengan harga Rp.1.000. Karena PT.Y tidak ada usaha riil, yang terjadi adalah penjualan mobil dari PT.X kepada PT.Z.

Profit PT.X yang dilaporkan dalam SPT adalah Rp.725-700 atau Rp.25 per mobil. Seharusnya profit PT.X adalah Rp.1000-700=Rp.300. Selisih harga jual ini merupakan bentuk TP berupa mark down, seharusnya pajak dikenakan atas profit sebesar Rp.300 per mobil. Dalam akuisisi usaha juga bisa terjadi transfer pricing. Penjualan pabrik atau industry hanya dinilai dari nilai aset dan lahan pabrik, tanpa memperhitungkan goodwill dari perusahaan.

Faktor kelangsungan usaha seperti tenaga kerja, merek, customer dan distributor barang tidak dilaporkan sebagai nilai asset perusahaan, sehingga nilai jual perusahaan sangat rendah. Akibatnya pajak dirugikan karena Pajak penghasilan atas akuisisi menjadi rendah. Pada era MEA akan banyak akuisisi untuk pertumbuhan usaha anorganik.

Model transfer pricing lainnya dengan membayar royalti ke induk usaha. Contoh PT.A di Indonesia, selaku anak usaha PQR Limited, mendapat lisensi untuk menjualan produk PQR Limited di Thailand. Selain itu PQR Limited juga memberi lisensi ke perusahaan non afiliasi di Indonesia, yaitu PT.B. Atas lisensi ini PT.A membayar fee ke PQR Ltd sebesar Rp.10 milyar.

Dengan jumlah omset yang hampir sama, PT.B hanya membayar royalti ke PQR Ltd sebesar Rp.2,5 milyar. Atas perbedaan tarif royalti, kemungkinan pembayaran royalti PT.A adalah pembayaran dividen terselubung dari PT.A ke PQR Limited selaku pemegang saham.

Mengumumkan Pelaku Transfer Pricing

Untuk mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm’s length price), muncul Peraturan Dirjen Pajak No.PER-42/PJ/2011 tanggal 11 November 2011. Aturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak istimewa (related parties). Bahkan TP tidak hanya dilakukan antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Transaksi antara perusahaan yang sama sekali tidak hubungan istimewa, juga bisa dilakukan under invoice, untuk mengecilkan omset penjualan. Kategori hubungan istimewa di Indonesia, diatur Pasal 18 UU No.36/2008 yaitu penyertaan modal minimal 25 persen, keterkaitan pengelolaan manajemen dan hubungan keluarga sederajat sedarah maupun semenda.

Apabila wajib pajak tidak bisa menunjukkan bukti pendukung kewajaran harga transaksi, maka Ditjen Pajak akan menetapkan harga transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang terafiliasi. Namun ada pengecualian, kewajiban pelaporan TP dibatasi untuk nilai minimal sebesar Rp.10 milyar dalam satu tahun pajak.

Aturan PER-32/PJ/2011 menyatakan bahwa penentuan harga transaksi wajar (arm’s length price) bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak non istimewa, resale price dan metode lainnya. Syarat utama analisis ini adalah ketersediaan data pembanding eksternal maupun internal. Publik berhak mengetahui perusahaan yang mengemplang pajak.

Kasus seperti ini pernah terjadi di Australia pada tahun 2004, antara perusahaan otomotif PMA Jepang dengan otoritas pajak Australia. Dengan pengumuman kasus transfer pricing ke publik, publik bisa melakukan tekanan moral ke perusahan yang melakukan transfer pricing.

Menangkal Transfer Pricing 

Pertama, mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Model penilaian usaha untuk pengenaan pajak harus diperluas ke penilaian atas asset non riil seperti goodwill, merek dan lisensi sehingga diketahui berapa nilai transaksi yang ada.

Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.

Ketiga, menggunakan data pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.

Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak.

Kelima, perlu ada data center, seperti Indonesian Coal Index, yang meng-update harga terbaru komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan.

Keenam, pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti MEA dan APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja


Sumber: pajak.go.id – 26 Februari 2015 –  Ditulis oleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Comments

comments

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *