MENELISIK KETENTUAN PEMBETULAN SPT SECARA JABATAN

Abstrak

Wajib Pajak harus menyampaikan SPT dengan benar, jelas, dan lengkap serta menandatanganinya. Namun Wajib Pajak masih dapat melakukan pembetulan jika SPT yang disampaikan belum sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pembetulan SPT dapat dilakukan atas kesadaran Wajib Pajak atau secara jabatan. Ketentuan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP diatur lebih lanjut denganPasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 mengatur bahwa apabila Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu tiga bulan, Dirjen Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam SPT Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,

Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Ketentuan pembetulan SPT secara jabatan ini tidak mudah dijalankan jika Wajib Pajak tidak membetulkan secara sukarela dan DJP tidak sedang melakukan proses pemeriksaan, keberatan, atau upaya hukum Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP, Banding, atau Peninjauan Kembali. Peraturan harus bersifat functional serta dibuat sejelas dan seserbaguna mungkin, sebaiknya ketentuan Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 perlu ditambah bahwa DJP dapat melakukan verifikasi untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atau pemeriksaan khusus.

Kata kunci: pembetulan SPT, secara jabatan, Undang-Undang KUP

A.Pendahuluan

Sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment dimana Wajib Pajak berdasarkan undang-undang harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, menghitung, memperhitungkan, membayar, dan menyampaikan SPT. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor DJP tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah mengisi formulir SPT, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah:

  1. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  2. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
  3. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.

SPT yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor DJP tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Kewajiban penyampaian SPT oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak. Undang-Undang KUP memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT yang sudah disampaikan. Selain itu pembetulan SPT tersebut juga dapat dilakukan secara jabatan oleh DJP. Tulisan ini akan membahas tentang pembetulan SPT secara jabatan oleh DJP.

B.Pembahasan

Undang-Undang KUP pertama kali diundangkan tahun 1983, kemudian mengalami beberapa diubah, sebagai berikut.

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang   Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Pembetulan SPT atas kemauan sendiri diatur dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (1a), ayat (2), dan ayat (2a) Undang-Undang KUP. Pada prinsipnya pembetulan SPT atas kemauan sendiri disampaikan secara tertulis sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan SPT menyatakan rugi atau lebih bayar harus disampaikan dua tahun sebelum daluwarsa penetapan. Atas kurang bayar dalam pembetulan SPT dikenakan sanksi bunga sebesar 2% perbulan, untuk SPT Tahunan dihitung sejak saat penyampaian SPT Tahunan berakhir, sedangkan untuk SPT Masa dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan selain mengubah ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) juga menambah satu ayat yaitu ayat (6). Penambahan tersebut berhubungan dengan pembetulan SPT karena Wajib Pajak menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang mengakibatkan rugi fiskal berbeda dengan ketetapan pajaknya. Selengkapnya ketentuan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP adalah sebagai berikut.

Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Ketentuan tersebut jelas ada batasan jangka waktunya yaitu tiga bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Namun, tidak secara jelas tersurat apakah pembetulan itu hanya semata-mata atas kemauan sendiri Wajib Pajak atau dapat juga secara jabatan oleh Dirjen Pajak. Jika hanya atas kemauan sendiri apakah Wajib Pajak mau membetulkan SPT Tahunannya atau tidak. Ada kemungkinan Wajib Pajak tidak mau membetulkan sendiri, jika hasilnya kurang bayar.

Untuk memberi kepastian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan menegaskan dalam Pasal 6 bahwa pembetulan SPT Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP dilakukan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT Tahunan. Pembetulan tersebut harus dilakukan paling lama tiga bulan setelah menerima surat ketetapan pajak (SKPN, SKPLN, SKPKB, SKPKBT), Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Jangka waktu tiga bulan tersebut dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu tiga bulan dihitung sejak tanggal diterima.

Ketentuan tersebut memperluas jenis keputusan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP dengan menambahkan juga Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP. Pasal 20 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/Pmk.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan tidak lagi menggunakan perluasan tersebut namun kembali pada ketentuan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP. Selengkapnya Pasal 20 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/Pmk.03/2014 adalah sebagai berikut.

Dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Atas perbedaan ini penulis berpendapat untuk memasukkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang menyebabkan kompensasi berubah sebagai dasar pembetulan SPT Tahunan tahun berikutnya. Adapun alasannya demi keadilan dan efektifitas, jika sudah diketahui adanya perubahan kompensasi kerugian saat proses Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP langsung saja sebagai dasar pembetulan SPT, tidak perlu lagi mekanisme lain.

Pasal 6 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunannya, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal apabila Direktur Jenderal Pajak sedang melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Verifikasi dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak, sedang memproses penyelesaian keberatan, sedang memproses penyelesaian pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, sedang memproses penerbitan Surat Keputusan Pembetulan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan banding atau Wajib Pajak/Direktur Jenderal Pajak sedang mengajukan Peninjauan Kembali namun belum diterbitkan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali maka Direktur Jenderal Pajak menyampaikan rugi fiskal tersebut ke badan peradilan pajak atau Mahkamah Agung agar diperhitungkan dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali. Tidak terdapat masalah dengan ketentuan ini.

Akan muncul masalah jika Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak (SKPN, SKPLN, SKPKB, SKPKBT), Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dan Wajib Pajak tidak mau melakukan pembetulan SPT Tahunan tahun tahun berikutnya dalam jangka waktu yang ditentukan. Atas peristiwa ini, Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 mengatur bahwa apabila Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu tiga bulan, Dirjen Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam SPT Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Masalah yang muncul adalah bagaimana cara Dirjen Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam SPT Tahunan secara jabatan dan apakah jika hasil pembetulan tersebut menjadi kurang bayar dapat dikenakan sanksi bunga Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP.

Undang-Undang KUP mengenal dua pembetulan, pertama pembetulan SPT yang diatur dalam Pasal 8. Kedua, pembetulan ketetapan atau keputusan yang diatur dalam Pasal 16. Pembetulan Pasal 16, memang dapat berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan. Namun pembetulan SPT dalam Pasal 8, tidak dikenal dalam Undang-Undang KUP. Kendala terbesar pelaksanaan Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 adalah apa output dari pembetulan SPT Tahunan secara jabatan itu? Pembetulan secara jabatan Pasal 16 Undang-Undang KUP adalah Surat Keputusan Pembetulan. Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 adalah pembetulan SPT Tahunan, jadi outputnya seharusnya adalah SPT Tahunan. Hanya saja, jika SPT Tahunan dibetulkan secara jabatan akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP karena ada kewajiban Wajib Pajak untuk menandatangani SPT. Jika SPT tidak ditandatangani Wajib Pajak berdasarkan Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang KUP maka SPT dianggap tidak disampaikan.

Jika pun dibuat mekanisme pembetulan SPT Tahunan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 masih ada masalah lagi, yaitu apakah jika pembetulan SPT Tahunan tersebut masih ada kurang bayar dapatkah dikenakan sanksi bunga 2% sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP? Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga 2% per bulan jika membetulkan sendiri SPT Tahunannya. Artinya secara gramatikal sanksi bunga 2% Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP tidak dapat dikenakan jika pembetulan SPT Tahunan dibetulkan secara jabatan.

C.Jalan Keluar

Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tidak mudah untuk dilaksanakan maka harus dicari jalan keluar jika Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan SPT Tahunan. Langkah pertama adalah dengan melakukan himbauan agar Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunannya sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP. jika Wajib Pajak mau, masalah selesai. Jika Wajib Pajak tidak mau masih ada dua pilihan yaitu verifikasi atau usulan pemeriksaan khusus.

Jalan keluar tersebut masih belum dapat digunakan jadi jalan keluar atas kesulitan menjalankan Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011. Peraturan perundang-undang harus bersifat functional serta dibuat sejelas dan seserbaguna mungkin. Jalan keluar yang paling tepat adalah dengan mengamandemen ketentuan Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 di masa yang akan datang (ius contituendum). Ketentuannya perlu ditambahkan bahwa jika Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan DJP dapat melakukan pembetulan secara jabatan atau melakukan verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak atau Pemeriksaan Khusus.

D.Simpulan

Undang-undang harus bersifat functional serta dibuat sejelas dan seserbaguna mungkin. Ketentuan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang KUP diatur lebih lanjut dengan Pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 mengatur bahwa apabila Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu tiga bulan, Dirjen Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam SPT Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Ketentuan pembetulan SPT secara jabatan ini tidak mudah dijalankan jika Wajib Pajak tidak membetulkan secara sukarela dan DJP tidak sedang melakukan proses pemeriksaan, keberatan, atau upaya hukum Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP, Banding, atau Peninjauan Kembali. Sebaiknya perlu ditambah ketentuan bahwa DJP dapat melakukan verifikasi untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atau pemeriksaan khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan


Sumber: bppk.kemenkeu.go.id – 24 April 2015 –  Ditulis oleh Agus Suharsono, SH. MSI

Comments

comments