Peran Pajak Menguat

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

SEPERTI biasa, setelah pergantian tahun Masehi, intensitas sorotan publik akan meruncing pada evaluasi beberapa indikator kinerja pemerintah dalam masa satu tahun anggaran. Salah satu indikator kinerja pemerintah yang paling menarik ialah seberapa besar efektivitas kebijakan dalam pengelolaan sumber daya fiskal? Pemerintah sebagai organ pengendali tunggal untuk kebijakan fiskal memiliki beban yang cukup besar untuk mengakselerasi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Tantangan yang tampak begitu vulgar adalah betapa beratnya proses pembangunan di Indonesia karena adanya heterogenitas wilayah dan kondisi geografis yang cukup luas sehingga membutuhkan kebijakan yang sifatnya proporsional dan asimetris. Berkali-kali pemerintah mengalami fiscal stress karena kapasitas keuangan yang terbatas dengan capaian pembangunan yang sudah dipasang tinggi.

Oleh karena itu pemerintah tidak bisa main-main di dalam pengelolaan sumber daya fiskal. Lengah sedikit saja harus bersiap dengan debat publik yang panjang dan bisa membawa pada situasi ketidakpastian dan tentu saja akan buruk pengaruhnya pada perekonomian. Hal yang sangat tidak kita inginkan bersama.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah jelas-jelas membutuhkan sokongan fiskal yang cukup besar, di samping perlu terus memperbaiki desain kelembagaan kebijakan agar menghasilkan kebijakan yang lebih efisien. Jika pemerintah berangan-angan untuk meningkatkan kapasitas belanja publiknya, hulu strateginya adalah menjaga agar penerimaan pajak mampu dikelola secara efektif dan efisien.

Penerimaan pajak menjadi lini vital karena kontribusinya yang dominan untuk menyediakan sebagian besar sumber daya pembiayaan pembangunan. Pada akhir 2017, Dirjen Pajak (DJP) melaporkan realisasi penerimaan pajak hingga tenggat 31 Desember 2017 mencapai Rp1.151,10 triliun.

Jika dibandingkan dengan tahun 2016 yang sebesar Rp1.105,94 triliun, capaian pajak kita tumbuh sebesar 4,08%. Secara agregat tingkat realisasinya terhadap target APBN-P 2017 mencapai 89,68% dari target. Meskipun belum mampu memenuhi target yang optimal, pemerintah masih dapat menggenjot penerimaan pajak hingga terjadi peningkatan volume penerimaan.

Bahkan andaikata unsur penerimaan tak berulang, misalnya tax amnesty tidak dimasukkan dalam penerimaan, pertumbuhannya akan tampak lebih tinggi lagi senilai 15,85%. Capaian Rp1.151,10 triliun ini berasal dari pajak penghasilan (PPh) nonmigas Rp596,89 triliun atau sekitar 80,42% dari target Rp742,20 triliun.

Realisasi pajak PPN dan PPnBM lebih menggembirakan lagi karena mencapai Rp480,73 triliun atau 101,10% dari target Rp 475,48 triliun. Adapun dari pajak bumi dan bangunan (PBB) realisasinya mencapai Rp16,77 triliun dari target Rp15,41 triliun atau 108,82%. Pajak lainnya mencapai Rp6,75 triliun dari target Rp8,70 triliun atau 77,53%. Untuk realisasi pajak PPh migas Rp49,96 triliun dari target Rp41,77 triliun atau 119,60%.

Jika diperinci lagi berdasarkan realisasi kinerja berdasarkan peta kantor pelayanan pajak (KPP), dari 341 KPP yang tersebar luas di seluruh Indonesia, sebanyak 66 KPP berhasil merealisasi penerimaan 100%, sebanyak 2 KPP dengan capaian 99–99,99%. Kemudian 15 KPP dengan pencapaian berkisar 95–98,99% dan 58 KPP dengan pencapaian 90–94,99%.

Adapun 141 KPP sisanya di bawah 90%. Pemerintah melalui DJP memang harus lebih serius dan fokus untuk menata langkah-langkah strategis berikutnya agar KPP yang belum on target berkurang jumlahnya setiap tahun.

Fokus Pemerintah
Pertama, agenda reformasi perpajakan harus terus dilakukan dengan cara-cara stimulan. Selain dengan cara meningkatkan kualitas layanan dan kebijakan perpajakan dari instansi penghasil penerimaan pajak, para penggawa di dalamnya juga harus betul-betul menjamin bahwa tindak korupsi sudah dapat diberangus hingga akar-akarnya.

Penggunaan teknologi informasi yang lebih modern dan dapat memperluas aksesibilitas pengawasan perlu lebih ditajamkan. Harapannya dengan proses transparansi yang lebih efektif, publik semakin dapat dilibatkan untuk memperkuat pengawasan dan modal sosial.

Cara berikutnya melakukan reformasi berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) perpajakan. SDM berperan untuk melalukan treatment pelayanan, edukasi, memberikan kemudahan untuk membayar dan melaporkan pajak hingga pengawasan kepada seluruh wajib pajak di Indonesia.

Sebulan yang lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai langkah mitigasi (pencegahan) korupsi di dalam DJP sudah cukup progresif meskipun masih berada di angka 7. Menkeu mengistilahkan potensi korupsi di DJP sifatnya lebih pada gaya individual sporadis sehingga pengawasannya tidak cukup melalui pengamatan secara sistemik karena bisa jadi pergerakan “malapraktiknya” dilakukan dengan cara yang lebih personal.

Komitmen pemerintah untuk turut melaksanakan Automatic Exchange of Information (AEoI) secara internasional, membuat akses-akses informasi yang terkait dengan potensi-potensi perpajakan akan semakin terbuka. Keterbukaan ini seharusnya disikapi dengan arif dan lebih berhati-hati untuk menghindari penyelewengan wewenang. Karena di Indonesia isu mengenai informasi kekayaan dan perangkat keamanan services perbankan masih sangat sensitif.

Dirjen Pajak baru juga sudah menggodok dengan matang bagaimana persiapan untuk menghadapi era AEoI. Di luar agenda reformasi yang sifatnya sudah rutin, Dirjen Pajak mengakui sudah melakukan inisiatif dengan menyusun lima pilar reformasi.

Lima pilar reformasi tersebut adalah perbaikan kualitas dan jumlah SDM, restrukturisasi organisasi baik kantor pajak maupun kantor wilayah, memperbaiki proses bisnis, memperbaiki kualitas TI, dan soal peraturan. Data wajib pajak warisan dari program tax amnesty inginnya juga dapat dikelola sebagai bahan informasi dan kebijakan.

Secara konseptual penulis dapat menyimpulkan bahwa langkah-langkah tersebut sudah cukup koheren dengan tujuan-tujuan reformasi. Tinggal bagaimana menjaga konsistensi implementasinya.

Kedua, tax base perpajakan perlu mendapat intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditujukan untuk mengejar tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) di Indonesia. Jika mengacu pada data Kemenkeu (2017), tingkat kepatuhan WP di Indonesia baru mencapai 33,22%.

Jumlah tersebut dihasilkan dari rasio jumlah WP yang rutin melaporkan dan membayar pajak sebesar 11,6 juta WP dengan dibandingkan jumlah pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang jumlahnya sekitar 36 juta WP. Perubahan level penghasilan tidak kena pajak (PTKP) di 2017 membuat jumlah WP yang seharusnya rutin membayar pajak menjadi sebesar 16 juta WP. Gap antara 11,6 juta dengan 16 juta WP yang di atas batas PTKP inilah yang perlu dikejar.

Adapun langkah ekstensifikasinya secara normatif dapat dilakukan dengan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi agar lebih luas dan merata. Target jangka pendeknya ialah dengan mendorong agar jumlah WP sebesar 20 juta yang masih di bawah PTKP, aktivitas ekonominya bisa semakin meningkat. Minimal terjadi pertumbuhan pendapatan kelompok ini.

Nah di sinilah seharusnya kebijakan fiskal melalui skema kualitas belanja perlu dijalankan secara efektif. Belanja pemerintah seharusnya dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat. Langkah selanjutnya pemerintah juga perlu meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki NPWP.

BPS (2017) menghitung jumlah penduduk yang bekerja di Agustus 2017 mencapai 121,02 juta jiwa. Sedangkan jumlah NPWP di Indonesia baru mencapai 36 juta. Pemerintah perlu membangun kesadaran masyarakat untuk membantu meningkatkan tax ratio.

Ketiga, daya saing ekonomi perlu semakin digiatkan. Kita harus mampu memanfaatkan berbagai momentum liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan kapasitas produksi ekonomi domestik. Kuncinya terletak pada bagaimana upaya pembangunan daya saing ekspor.

Kebijakan ekspor bukan berarti meninggalkan kepentingan daya saing di pasar domestik. Karena logikanya ketika kita mampu mengekspor, tandanya produksi domestik kita sudah surplus dan bahkan mampu mengungguli produk-produk homogen yang berasal dari negara lain.

Langkah pemerintah untuk menggiatkan pembangunan infrastruktur mulai dari struktur desa hingga antarpulau dan daerah perlu kita apresiasi. Reformasi birokrasi yang terus digalakkan dalam 2-3 tahun terakhir juga perlu ditinjau lagi bagaimana efektivitasnya. Selanjutnya kita perlu mengingatkan bahwa pemerintah juga perlu memperbesar alokasi untuk pembangunan kualitas dan daya saing SDM dengan negara-negara lain.

Dan keempatjangan lupakan pula aspek modal sosial dan trust masyarakat terhadap pemerintah melalui pengelolaan negara yang lebih transparan. Salah satu penyebab utama mengapa tax ratio dan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) kita cukup rendah bisa jadi karena modal sosial yang lemah antara masyarakat dan pemerintah.

Modal sosial tidak bisa dibuat secara serta-merta karena membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang daripada dengan modal-modal ekonomi lainnya. Oleh karena itu jika pemerintah berhasrat agar partisipasi masyarakat bisa lebih diperkuat, khususnya melalui kepatuhan pajak, pemerintah seharusnya dapat menjamin bahwa setiap sen rupiah yang mereka bayarkan akan digunakan secara efektif untuk kepentingan pembangunan negara dan dikelola secara transparan sehingga mengurangi keraguan dan ketidakpercayaan. Kita perlu sadar bahwa korupsi tidak hanya merusak mentalitas bangsa, melainkan juga melemahkan gotong-royong masyarakat dalam rangka pembangunan bangsa.

Sumber : sindonews.com (Jakarta, 8 Januari 2018)
Foto : sindonews.com

[kkstarratings]

Comments

comments