MENGAPA “ORANG KAYA” MENARIK BAGI OTORITAS PAJAK?

Abstrak

Pengelolaan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki efek yang menggentarkan adalah orang pribadi yang kaya. Resistensi atas upaya peningkatan penerimaan dari sektor inilah yang menjadi menarik bagi otoritas perpajakan untuk mengelolanya dengan cerdas dan bijaksana. Alasan mengapa otoritas perpajakan tertarik dalam mengelola pajak mereka secara khusus, karena; (a) kompleksitas proses bisnis mereka yang meliputi bisnis dari hulu hingga ke hilir dan berbagai jenis investasi; (b) jumlah penerimaan pajak mereka berpotensi memberikan kontribusi penerimaan pajak secara nasional; (c) kesempatan mereka untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif dengan menggunakan pengaturan keuangan yang canggih dan juga mengeksploitasi celah pajak di “Tax Heaven Country”; dan (d) peran penting mereka dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi integritas sistem perpajakan nasional.

Keywords : Pajak Penghasilan, orang kaya, perhatian khusus, otoritas pajak

A.Pendahuluan

Tahun 2015 adalah tahun penuh tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Direktur Jenderal Pajak yang baru dihadapkan pada tantangan besar untuk mengamankan penerimaan negara sebesar Rp1.244,7 Triliun atau sekitar 67% dari total penerimaan negara. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa potensi penerimaan pajak harus dioptimalkan dengan dukungan politik penuh dari presiden. Dengan target penerimaan pajak tahun 2015 tersebut DJP harus tanggap terhadap situasi dan kondisi politik ekonomi yang terjadi. Selain Wajib Pajak Badan, peran penting lainnya dalam meningkatkan penerimaan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi.

Pemberitaan apa pun tentang orang-orang kaya, sering kalimenjadi perhatian publik, juga kontribusi mereka terhadap penerimaan negara. Atkinson dan Leigh (2010) menuliskan “The important role held by top income earners cannot be denied. This is not just because their tax share is very significant to the overall total tax revenue, but also because of the economic power which it conveys.Situasi tersebut menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di beberapa negara sangat terkonsentrasi pada populasi kecil antara 1-5 persen yaitu kepada orang yang berpenghasilan tinggi. Dengan melakukan perbandingan lintas-negara di lima negara Anglo-Saxon dengan latar belakang dan sistem pajak yang sama,yaitu Australia, Kanada, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Inggris, Atkinson dan Leigh (2010) melaporkan bahwa rata-rata pajak penghasilan terbesar 0,1 persen dari orang yang sangat kaya. Orang-orang kaya di Australia sekitar 2,3 persen dan 4,0 persen di AS. Kontribusi dari pajak penghasilan mereka di atas 1 persen antara 8,1 persen di Australia dan 11,8 persen di Amerika Serikat (Leigh & van der Eng, 2010). Studi yang dilakukan pada Indonesia menunjukkan bahwa persentase penghasilan rumah tangga orang kaya berkontribusi terhadap 10-15 persen pajak penghasilan.

B.Pembahasan

Menyadari pentingnya peran individu berpenghasilan tinggi atau High Wealth Individual (HWI) terhadap perekonomian, beberapa negara membentuk unit khusus dalam administrasi pajak mereka yang mengurusi HWI. Diprakarsai oleh otoritas pajak Perancis pada tahun 1983 dan Australia pada tahun 1996 (OECD, 2009),[1] saat ini tidak kurang dari sebelas negara, termasuk Indonesia, secara khusus dibentuk untuk menangani aspek perpajakan HWI. Ada empat pertimbangan penting mengapa otoritas pajak di dunia memfokuskan sumber daya mereka pada HWI yaitu kompleksitas urusan mereka; jumlah penerimaan pajak yang berpotensi dipertaruhkan; kesempatan untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif (ATP) dan efeknya perilaku kepatuhan terhadap integritas keseluruhan sistem pajak (OECD, 2009, halaman 7).

Dibandingkan dengan wajib pajak secara umum, masalah yang dihadapi oleh HWI tentu lebih beragam dan lebih kompleks. Karakteristik mereka mobilitasnya lebih tinggi (Beaverstock, Hubbard & Rennie Short, J. (2004) sehingga akan menimbulkan beberapa hal yang berkaitan erat dengan masalah pajak termasuk status kependudukan, penerapan perjanjian pajak dan pertanyaan tentang sumber pendapatan (OECD, 2009). HWI juga memiliki pengaturan komersial yang kompleks dan cepat berubah (Allen, 2008). Dengan sumber daya yang tersedia, HWI memiliki peluang lebih besar untuk mengelola kekayaan mereka dalam berbagai bentuk investasi yang memberikan konsekuensi pajak yang berbeda, tidak hanya di negara tempat mereka tinggal, tetapi juga di negara-negara lain. Selain itu, kekayaan mereka, tingkat pendapatan, dan kompleksitas transaksi bisnis mereka, yang mengekspos HWI ke tingkat yang lebih tinggi risikonya dari pembayar pajak pada umumnya (J. Braithwaite, 2003).

Individu yang masuk kategori HWI umumnya lebih mahir dalam perencanaan pajak atau tax planning (J.Braithwaite, Pittelkow & Williams, 2003; OECD, 2009). Selain itu, OECD berpendapat bahwa tingkat sumber pendapatan mereka, struktur yang mereka kontrol serta fitur internasional mereka memberikan mereka kesempatan yang lebih besar untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif. J.Braithwaite et al, (2003, page 225) dalam penelitian mereka, mengidentifikasi lima kategori yang dikenal sebagai ‘fundamentals of aggressive tax planning‘ atau ‘five red flags issues’ yaitu: (a) trust distributionsespecially capital distributions in cash to HNWI; (b) capital loss creationespsecially through asset sales, but not revenue creation; (c) use of an offshore entity in a country that may be a tax heaven; (d) the utilization of revenue losses via intra group transfers-that is, within the group of entities controlled by HNWI; (e) ‘other’ extraordinary risks that fall between the cracks.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan oleh otoritas pajak dalam memutuskan sumber daya yang lebih dalam memperhatikan HWI adalah karena pengaruh kuat dari perilaku kepatuhan mereka terhadap integritas keseluruhan sistem pajak. Hal ini didasarkan pada persepsi umum bahwa orang yang berpenghasilan tinggi dan kaya belum membayar pajak dalam jumlah yang seharusnya (V. Braithwaite, Reinhart, Mearns, & Graham, 2001; Roth, Scholz, & Ann Dryden Witte, 1989; Slemrod, 2002). Keberadaan HWI dalam hal profil publik dan perhatian media kepada mereka lebih besar dari masyarakat luas. Hal ini bisa jadi karena posisi penting mereka dalam bisnis atau industri atau dengan status selebriti mereka. Dengan posisi yang populer di masyarakat, para HWI memiliki kesempatan lebih besar untuk dipublikasikan dibandingkan dengan wajib pajak lainnya.

Ada perbedaan antara Wajib Pajak Badan besar dan Wajib Pajak HWI. Korporasi besar relatif homogen sebagai kelompok dalam arti bahwa mereka biasanya dikenakan sejumlah aturan seperti pembukuan, akuntansi, filling and disclosure(OECD, 2008). Selain itu, mereka juga memiliki aturan tata kelola yang luas dan sering berinteraksi dengan administrasi perpajakan, terutama dalam posisi mereka sebagai pemotong/pemungut untuk beberapa jenis pajak, terutama pajak penghasilan atas gaji/upah. Selain itu, wajib pajak perusahaan besar dalam memenuhi kewajiban pajak mereka memiliki unit dalam struktur organisasi mereka yang menangani masalah pajak ( misalnya divisi akuntansi pajak, divisi hukum atau auditor internal).

Sementara itu, HWI kurang homogen sebagai kelompok (OECD, 2008). Mereka menunjukkan keragaman yang lebih besar, mobilitas yang tinggi dan perbedaan perilaku bisnis (Allen, 2008). Sehubungan dengan pengungkapan informasi keuangan, individu cenderung membuat informasi pribadi untuk urusan keuangan mereka, sehingga cenderung bersifat rahasia. Dalam hal berinteraksi dengan otoritas pajak, HWI cenderung diwakili oleh wakil/kuasa, seperti pengacara, akuntan, konsultan pajak atau ‘family office’ (OECD, 2009, hal. 34)[2]. Penggunaan layanan konsultan pajak[3] dalam memenuhi kewajiban pajak mereka dimanfaatkan untuk berbagai pengaturan keuangan yang canggih seperti produk derivatif demi meminimalkan beban pajak mereka.

C.Kesimpulan

Ada empat alasan mengapa otoritas perpajakan di beberapa negara memiliki ketertarikan terhadap pengelolaan Wajib Pajak yang memiliki penghasilan tinggi dan kekayaan yang tinggi. Alasan tersebut adalah; (a) kompleksitas proses bisnis mereka yang meliputi bisnis dari hulu hingga ke hilir dan berbagai jenis investasi; (b) jumlah penerimaan pajak mereka berpotensi memberikan kontribusi; (c) kesempatan mereka untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif dengan menggunakan pengaturan keuangan yang canggih dan juga mengeksploitasi celah pajak di tax heavens country dan (d) peran penting mereka dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi integritas sistem perpajakan. Harapannya, jika Wajib Pajak Orang Pribadi berpenghasilan tinggi dilakukan pengawasan atas kewajiban perpajakannya dengan benar makan akan memberikan kontribusi lebih terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.


Referensi:

Allen, D. R. (2008). The OECD Project on high net worth individuals. The Institute of Chartered Accountant of Scotland (ICAS). Retrieved fromhttp://www.oecd.org/dataoecd/7/44/42379317.pdf

Atkinson, A. B., & Leigh, A. (2010). The Distribution of Top Income in Five Anglo-Saxon Countires over the Twentieth Century. IZA Discussion Paper No. 4937.

Beaverstock, J. V., Hubbard, P., & Rennie Short, J. (2004). Getting away with it? Exposing the geographies of the super-rich. Geoforum, 35(4), 401-407. doi:10.1016/j.geoforum.2004.03.001

Braithwaite, J. (2003). Through the eyes of the adviser: A fresh look at high wealth individuals. In V. Braithwaite (Ed.), Taxing democracy: Understanding tax avoidance and evasion (pp. 245-270). Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd.

Braithwaite, J., Pittelkow, Y., & Williams, R. (2003). Tax compliance by the very wealthy: Red flags of risk. In V. Braithwaite (Ed.), Taxing democracy: Understanding tax avoidance and evasion (pp. 205-228). Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd.

Braithwaite, V., Reinhart, M., Mearns, M., & Graham, R. (2001). Preliminary findings from the community hopes, fears and action surveys (Working Paper Series No. 3). Center for Tax System Integrity Working Paper Series (p. 58). Canberra: The Australian National University.

Eissa, N. O., & Giertz, S. H. (2006). Trends in high incomes and behavioral responses to taxation: Evidence from executive compensatation and statistics of income data (Working Paper Series No. 2006-14). CBO Working Paper. Washington, DC: Congressional Budget Office.

Klepper, S., & Nagin, D. (1989). The role of tax preparers in tax compliance. Policy Sciences, 22(2), 167-194. doi:10.1007/BF00141383

Leigh, A., & van der Eng, P. (2010). Top incomes in Indonesia, 1920-2004. In A. B. Atkinson & T. Piketty (Eds.), Top Incomes: A global perspective (Vols. 1-2, pp. 171-219). New York: Oxford University Press.

OECD. (2008). The OECD’s project on high net worth individuals: Discussion paper for public comment. OECD. Retrieved fromhttp://www.oecd.org/dataoecd/15/39/41578984.pdf.

OECD. (2009). Enganging with high net worth individuals on tax compliance (p. 108). France: Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).


[1]Berdasarkan laporan OECD (2009) negara-negara ini adalah Australia, Kanada, Perancis, Irlandia, Jepang, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Afrika Selatan dan Inggris. Indonesia membentuk unit khusus menangani HNWI di tahun 2009.

[2]“Family office” menurut OECD (2009) adalah “sebuah perusahaan yang bertanggung jawab untuk mengelola investasi, trust dan urusan pajak keluarga secara manunggal. Dalam beberapa kasus tanggung jawabnya dapat memperpanjang untuk mengelola urusan pribadi keluarga, misalnya mengatur perjalanan, mengelola staf rumah tangga dan mengatur keamanan keluarga” (hal.34) .

[3]Praktisi/konsultan pajak merujuk pada ‘semua orang yang dibayar oleh klien mereka (wajib pajak) untuk membantu mereka dalam melaksanakan kewajiban perpajakan atau untuk memberikan nasihat tentang perencanaan pajak’ (Tan, 2009, hlm. 11-12 ) .

Sumber: bppk.kemenkeu.go.id – 5 Februari 2015 – Ditulis oleh Herru Widyatmanti, SE, ME.

Comments

comments

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *