KEKUATAN MENGIKAT YURISPRUDENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

Abstrak

Banyak Wajib Pajak mengharapkan putusan Pengadilan Pajak dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim dalam menangani sengketa pajak. Hal ini dimaksudkan agar putusan-putusan Pengadilan Pajak selalu konsisten (antara satu putusan dengan putusan yang lain untuk kasus yang sama tidak bertentangan). Mengingat sistem hukum Indonesia menganut sistem Civil Law yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bukan pada putusan hakim (yurisprudensi), prinsip yurisprudensi sulit diterapkan dalam pengadilan pajak.

Keywords: yurisprudensi, putusan pengadilan, preseden

Tidak sedikit Wajib Pajak yang mempertanyakan mengapa suatu putusan Pengadilan Pajak tidak dapat dipergunakan sebagai dasar pengambilan putusan untuk kasus yang serupa di kemudian hari. Atau dengan kata lain, mengapa para hakim Pengadilan Pajak tidak mau mempergunakan putusan Pengadilan Pajak yang telah ada untuk memutus kasus yang serupa. Akibat tidak diterapkannya asas yurisprudensi ini, mengakibatkan putusan antara Majelis Pengadilan Pajak terhadap kasus yang sama menjadi berbeda-beda. Lalu, apakah memang putusan pengadilan pajak yang serupa tidak dapat diterapkan dalam pengambilan putusan untuk kasus yang sama?

Apa itu Yurisprudensi?

Istilah Yurisprudensi, berasal bahasa Latin, yaitu dari kata “jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan “jurisprundentie”, sedangkan dalam bahasa Perancis adalah “jurisprudence”, yang kesemuanya mengandung makna yang sama yaitu hukum peradilan. Dalam bahasa Inggris terminologi “jurisprudence” bermakna teori ilmu hukum, sedangkan untuk menunjuk pengertian hukum peradilan digunakan istilah case law atau judge law-made law.[1]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata yurisprudensi diartikan sebagai: ajaran hukum melalui peradilan; himpunan putusan hakim.[2]

Pengertian yurisprudensi bagi negara-negara yang menganut sistem Common Law/ Anglo Saxon (seperti Inggris atau Amerika Serikat) mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu ilmu hukum. Bagi negara-negara yang menganut sistem Civil Law/ Eropa Kontinental, (seperti Belanda atau Indonesia) istilah yurisprudensi hanya berarti putusan pengadilan. Pengertian yurisprudensi sebagai putusan pengadilan di negara-negara Common Law disebut dengan preseden.

Kekuatan Mengikat Yurisprudensi

Dalam sistem hukum nasional, sumber hukum yang paling utama adalah undang-undang. Namun demikian, Indonesia juga mengenal sumber-sumber hukum lainnya yaitu yurisprudensi, kebiasaan, traktat atau perjanjian dan doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formal, penting eksistensinya apabila dihubungkan dengan tugas hakim.

Dalam praktik, hakim terkadang dihadapkan pada kondisi harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan seperti itu hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B.) yang menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan, tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili. Lebih lanjut Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan demikian, apabila undang-undang tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara tersebut, maka hakim dapat membentukketentuan/ peraturan sendiri (penemuan hukum). Putusan hakim yang berisikan suatu ketentuan/ peraturan dapat menjadi dasar putusan hakim lainnya/ kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan putusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan.[3]

Lalu, adakah kewajiban bagi seorang hakim mengikuti putusan hakim sebelumnya?

Di dalam yurisprudensi terdapat dua asas yang mempengaruhi seseorang hakim itu mengikuti putusan hakim yang terdahulu atau tidak yaitu asas preseden danasas bebas.

Asas preseden mengandung pengertian bahwa seorang hakim dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari hakim yang lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Asas preseden ini dipakai di negara-negara penganut Common Law. Sifat preseden dalam sistem Common Law adalah the binding force of precedent atau disebut juga asas stare decisis.

Black Law’s Dictionary memberikan pengertian tentang binding precedent sebagai berikut

“A precedent that a court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable holding of a higher court in the same jurisdiction.”

Bagi negara Common Law (Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan), yurisprudensi memang merupakan sumber hukum terpenting. Judge made lawmengambil tempat terpenting di samping statute law (hukum undang-undang). Putusan hakim berdasarkan asas preseden ini mempunyai kekuatan yang mengikat (binding authority).

Asas bebas dalam yurisprudensi mengandung pengertian bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatannya. Asas ini dipakai oleh negara-negara penganut Civil Law seperti Belanda dan Perancis.Di negara penganut Civil Lawhakim terikat pada putusan hakim lain. Apabila sesuatu peraturan dalam putusan hakim selalu diikuti (telah terbentuk yurisprudensi yang tetap) maka peraturan tersebut dapat merupakan hukum objektif, bukan berdasar atas keputusan hakim, melainkan berdasar atas kebiasaan, yakni berdasarkan kesadaran hukum yang umum, yang menjelma dalam garis-garis tingkah laku para hakim yang tetap.[4] Secara hukum, kekuatan mengikat yurisprudensi bagi negara-negara dengan sistem hukum Civil Law hanya mengikat secara persuasive precedent sehingga hakim-hakim dibawahnya atau setelahnya diperkenankan tidak mengikuti yurisprudensi.

Kedudukan Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia selama ini, karena pengaruh sistem hukum Belanda, menganut sistem Civil Law.Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bagi negara-negara penganut Civil Law yurisprudensi bukanlah hal yang sangat mengikat. Ketika ada putusan hakim pengadilan sebelumnya yang dipakai untuk memutuskan kasus di kemudian hari maka hal itu bukanlah karena putusan hakim sebelumnya mempunyai kekuatan mengikat, melainkan karena hakim yang kemudian menganggap bahwa putusan sebelumnya itu memang dianggap tepat dan layak untuk diteladani.

Sama halnya dengan negara-negara penganut Civil Law, di Indonesia, yurisprudensi tidak wajib diikuti oleh para hakim lainnya. Dalam sistem hukum Indonesia, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi perkara yang diadili itu dan pihak-pihak yang bersengketa dalam perkara tersebut. Pasal 21 AB menyatakan bahwa “Hakim tidak diperkenankan, berdasarkan verordeningumum, disposisi atau reglemen, memutus perkara yang tergantung pada putusannya”. Pasal 1917 KUHPerdata menyatakan bahwa “Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.” Mendasarkan pada hal-hal tersebut, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat terbatas pada perkara yang diputuskan. Putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum walaupun untuk peristiwa atau perkara serupa (kecuali untuk putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi).

Di Indonesia juga dikenal yang namanya yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia yaitu putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif. Dengan demikian, kedudukan yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda dengan keputusan hakim yang merupakan “preseden” sebagaimana yang terdapat di negara-negara Common Law.

Penerapan yurisprudensi dalam memutus sengketa pajak

Lalu, mengenai apakah yurisprudensi dapat dijadikan dasar hukum dalam menyelesaikan perkara sengketa perpajakan di Pengadilan Pajak?

Tidak berbeda dalam sistem peradilan yang lain di Indonesia, dalam praktiknya pengadilan pajak juga tidak menganut prinsip yurisprudensi. Hal ini disebabkan hakim di Pengadilan Pajak masih berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap hakim bebas sepenuhnya memutus berdasarkan undang-undang, fakta dan bukti, dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya. Di samping itu pula, yang perlu diperhatikan adalah sengketa pajak harus diputus kasus per kasus dan berdasarkan bukti. Di antara kasus-kasus yang serupa yang diajukan Wajib Pajak belum tentu benar-benar sama atau identik karena dapat saja terjadi bukti-bukti yang diajukan oleh Wajib Pajak berbeda.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka yurisprudensi lebih sebatas disarankan untuk menjadi pedoman/ arahan atau bahan pertimbangan bagi hakim lain untuk memutus suatu sengketa pajak.

Kesimpulan

Apabila suatu sengketa pajak terjadi dan diselesaikan melalui pengadilan pajak, hakim harus memutuskannya berdasarkan sumber hukum yang ada, yang terutama adalah peraturan perundang-undangan. Selain peraturan perundang-undangan, salah satu sumber hukum yang yang dapat dijadikan rujukan adalah yurisprudensi.

Meskipun sistem peradilan Indonesia tidak menganut prinsip/ asas preseden dalam yurisprudensi, untuk menghindari disparitas/ perbedaan putusan hakim Pengadilan Pajak atas kasus yang benar-benar sama/ identik, yang dapat membingungkan Wajib Pajak sebagai pencari keadilan, disarankan yurisprudensi agar dijadikan pedoman atau bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim lainnya dalam memutus sengketa pajak yang serupa.

Daftar Pustaka:

  1. Kansil. C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.
  2. Van Apeldoorn. Prof. Dr. Mr. LJ. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
  3. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1979. Perundangan-undangan dan Yurisrprudensi. Bandung: Alumni.
  4. Poerwadarminta, WJS. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
  5. UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
  6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  7. Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie)


[1] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundangan-undangan dan Yurisrprudensi, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 56.

[2] Poerwadarminta, WJS. Kamus Besar Bahasa Indoensia.Jakarta:Balai Pustaka, 2001. Hal. 1278

[3]Kansil. C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hal. 49

[4]Prof. Dr. Mr. L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 161-162


Sumber: bppk.kemenkeu.go.id – 5 Februari 2015 – Ditulis oleh Adriana Dwi Harjanti, S.H, M.Ec

Comments

comments

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *