W A S K I T A & Partners > Artikel Pajak > UPAH BURUH VS UTANG PAJAK,MANA YANG DIDAHULUKAN PEMBAYARANNYA?
UPAH BURUH VS UTANG PAJAK,MANA YANG DIDAHULUKAN PEMBAYARANNYA?
Abstrak
Manakala sebuah perusahaan dinyatakan pailit, maka berdasarkan Undang-undang UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)upah dan hak-hak pekerja/buruh harus didahulukan pembayarannya dari utang lainnya.Dengan demikian pembayaran upah pekerja/buruh berada sebagai kreditor preferenyaitu kreditor yang mempunyai hak istimewa. Kedudukan ini bersanding dengan hak mendahulu Negara terhadap utang pajak yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP). Dalam praktiknya, kata “didahulukan” dalam UU Ketenagakerjaan ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik). Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pembayaran upah pekerja/buruh menjadi didahulukan atas semua jenis kreditor, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah.
Keywords:hak mendahulu, upah buruh, pailit, utang pajak
Saat sebuah perusahaan mengalami pailit, akan banyak kreditor yang terlibat dalam proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu. Di dalam proses kepailitan, kreditor akan terbagi ke dalam 3 macam kreditor, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Menurut UU Kepailitan, pembedaan tersebut berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan dalam proses pembagian harta pailit.
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor separatis. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. UU No. 37/2004 memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata. Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka.
Menurut Pasal 21 UU KUP, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Ketentuan dalam pasal ini menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak. Pembayaran kepada Kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Sedangkan dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juga diatur mengenai hak mendahulu untuk upah dan hak pekerja/ buruh terhadap utang lainnya jika terjadi kepailitan.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, baik UU KUP maupun UU Ketenagakerjaan memberikan prioritas kepada objek untuk mendapatkan referensi/ hak mendahulu. Yang menjadi pertanyaan adalah “di antara kedua undang-undang tersebut mana yang didahulukan”. UU KUP tentu memprioritaskan bahwa utang pajak menjadi yang paling diprioritaskan sedangkan UU Ketenagakerjaan memprioritaskan pembayaran upah pekerja/ buruh.
Kedudukan utang pajak dalam kepailitan
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) UU KUP mengatur mengenai hak mendahulu sebagai berikut:
(1) “Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak”.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
- biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
- biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
- biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Ketentuan dalam pasal ini menempatkan negara sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. UU KUP ini juga memberikan kedudukan istimewa untuk utang pajak melebihi kedudukan semua kreditur dalam kepailitan, termasuk hak jaminan dan juga mendahulu dari upah buruh dan biaya kepailitan serta kreditur konkuren.
Ketentuan Pasal 21 UU KUP sejalan dengan Pasal 1137 KUHPerdata yang mengatur mengenai hak negara sebagai berikut:
“Hak dari kas negara, kantor lelang, dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal-hal itu”.
Undang-undang khusus yang mengatur hal yang disebutkan dalam Pasal 1137 KUH Perdata salah satunya adalah UU KUP khususya Pasal 21. Dengan demikian, merujuk ketentuan-ketentuan tersebut di atas hak negara terhadap pembayaran utang pajak ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditur separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik).
Kedudukan Upah Buruh dalam Kepailitan
Dalam UU Ketenagkerjaan juga diatur mengenai hak mendahulu yaitu dalam Pasal 95 ayat (4) sebagai berikut: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Dalam penjelasan pasal ini diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/ buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.
Berdasarkan ketentuan ini, kedudukan pekerja/ buruh adalah sebagai kreditor, maka jika terjadi kepailitan, hak-hak buruh sama dengan kreditor-kreditor lainnya. Yang menjadi permasalahan adalah kedudukan buruh sebagai kreditor dalam klasifikasi yang mana (kreditor separatis, preferen, atau konkuren) karena ini akan menentukan urutan prioritas pembayarannya.
Pasal 1134 KUH Perdata menjelaskan hak istimewa sebagai berkut:
“Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditor yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan Hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”.
Dalam Pasal 1149 KUH Perdata dijelaskan lebih lanjut mengenai hak istimewa, sebagai berikut:
“Hak istimewa atas semua benda bergerak dan benda tidak bergerak pada umumnya, yaitu:
a. …
d. upah para buruh selama tahun lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun berjalan, beserta uang-uang yang harus dibayar oleh majikan baik kepada buruh maupun kepada keluarga buruh…”.
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menempatkan upah buruh dalam kedudukan sebagai kreditor preferen, karena memiliki hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal 1134 KUHPerdata dijelaskan bahwa kreditur pemegang hak gadai dan hipotek mempunyai tingkatannya lebih tinggi dibandingkan kreditor pemegang hak istimewa, kecuali undang-undang dengan tegas mengatur sebaliknya. Dengan demikian, apabila UU Ketenagakerjaan mau mengecualikan bahwa kedudukan hak istimewa lebih tinggi daripada gadai dan hipotek (kreditor separatis), UU Ketenagkerjaan harus menyatakan secara spesifik bahwa tingkatannya lebih tinggi daripada gadai dan hipotik. Ketentuan yang menyatakan bahwa upah buruh tingkatannya lebih tinggi dari kreditor separatis tidak terdapat dalam UU Ketenagakerjaan. Hal ini mengakibatkan upah pekerja/ buruh kedudukannya di bawah kreditor separatis.
Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memang mewajibkan perusahaan yang pailit harus mendahulukan pemenuhan hak-hak pekerja seperti pesongan dan hak-hak lainnya. Akibatnya dalam praktik, pengertian kata “didahulukan pembayarannya” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan kreditor separatis. Permasalahan ini yang sering menuai perdebatan jika terjadi kepailitan.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 67/PUU-XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 dikeluarkan karena adanya permohonan judicial review yang diajukan oleh Ir Otto Geo Diwara Purba, dkk. Dalam permohonannya, pemohon meminta penafsiran yang tegas terhadap ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan terkait dengan pengertian frasa “didahulukan pembayarannya”. Pemohon menilai pada praktiknya, ketika perusahaan dinyatakan pailit, pembayaran upah untuk pekerja tidak didahulukan. Yang diprioritaskan adalah hak negara (ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama), diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik). Menurut pemohon, praktik ini terjadi karena kata “didahulukan” dalam UU ketenagakerjaan ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditur separatis yang merujuk pada Buku Kedua, Bab IXI KUHPerdata dan Pasal 21 UU KUP. Dengan adanya praktik demikian dalam pelaksanaanya, pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagkerjaan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum mengingat tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula “didahulukan pembayarannya”.
Pada tanggal 30 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonanjudicial review tersebut dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Pasal 95 ayat(4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yangdibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara,kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihandari kreditur separatis”;
2. Pasal 95 ayat (4) UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”[1]
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sudah jelas apabila terjadi kepailitan, hak mendahulu atas utang pajak tidak berlaku apabila bertemu dengan upah pekerja/buruh dan hak-hak pekerja buruh/ lainnya. Hal ini agak berbeda dengan kreditor separatis dimana, jika ada pembayaran upah pekerja/buru maka kreditor separatis mengalah tapi tidak untuk pembayaran hak-hak pekerja/ buruh lainnya.
Adapun pertimbangan Majelis Hakim memutus demikian adalah upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional yang oleh karenanya adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sedangkan mengenai kewajiban/ tagihan terhadap negara, adalah wajar jika berada diperingkat setelah upah dan hak-hak pekerja/ buruh (seperti uang pesangon, uang penhargaan masa kerja dan uang penggantian hak dan seterusnya). Hal ini karena negara mempunyai sumber pembiayaan lain sedangkan bagi pekerja, upah adalah satu-satunya sumber mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya.[2]
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menempatkan upah pekerja sebagai prioritas pertama dari pembayaran dalam hal terjadi kepailitan, prioritas selanjutnya hak negara diharapkan kisruh antara upah buruh dan utang pajak berakhir.
Kesimpulan
Pembayaran upah pekerja/buruh harus didahulukan dalam kasus kepailitan perusahaan adalah amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Dengan adanya putusan ini mengubah praktik selama ini yang menempatkan upah pekerja/ buruh berada pada utang pajak. Kewajiban/ tagihan terhadap negara (termasuk kedudukan utang pajak) berada pada tingkat setelah upah dan hak-hak pekerja/buruh. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim yang berpendapat bahwa negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya. Di samping itu pula “upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya dibayar sebelum kering keringatnya.”
Daftar Pustaka:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang Nomor UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013
1] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013, hlm. 45.
[2] Ibid, hlm. 44.
Sumber: bppk.kemenkeu.go.id – 5 Februari 2015 – Ditulis oleh Adriana Dwi Harjanti, S.H, M.Ec